Tangisan Guru Honorer: Kalau Bukan Kami, Siapa Lagi yang Peduli? 1 Sekolah Hanya Ditangani 2 Guru
Opinirakyat.org - Sambil menggendong anaknya yang masih berusia 7 bulan, Waddiah berjalan memasuki ruang kelas. Ia hilir mudik sambil memegang buku pelajaran sembari memberi arahan kepada anak didiknya.
Tak lama, ia kemudian keluar dan kembali memasuki kelas lain, juga sambil melakukan hal serupa.
Waddiah memang bertanggung jawab mengajar di tiga kelas, yaitu kelas 4, 5, dan 6. Sedangkan kelas 1, 2, dan 3, ditangani oleh guru lainnya, Irma Suryani.
Begitulah gambaran sehari-hari proses belajar mengajar di SDN Lampuyang di Pulo Breueh, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar.
Satu sekolah hanya ditangani dua guru, yakni Waddiah yang berstatus guru honorer dan Irma Suryani yang berstatus guru PNS.
Waddiah mengajar sambil menggendong anaknya yang berusia 7 bulan. Guru honorer di SDN Lampuyang, Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar ini harus mengajar tiga kelas sekaligus karena ketidakhadiran guru PNS.
Keduanya merupakan warga Pulo Aceh. Jika Waddiah lahir dan besar di sana, Irma Suryani justru menikah dengan warga Pulo Aceh.
Sebenarnya di SDN Lampuyang terdapat sembilan guru. Enam di antaranya berstatus PNS dan lainnya merupakan guru kontrak dan honorer.
Tapi sayangnya, banyak dari guru PNS itu sering tidak masuk. Mereka tinggal di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Tidak jelas apa yang menyebabkan guru-guru PNS itu 'malas' masuk sekolah. Padahal, mereka telah mendapatkan tunjangan guru terpencil yang jumlahnya tidak sedikit.
Bisa jadi, mungkin karena ‘jauhnya’ perjalanan, yang hanya sekitar dua jam pelayaran dari daratan Aceh.
Maka tak heran pula jika persentase murid yang tidak masuk sekolah juga tinggi, mencapai 40 persen dari total jumlah murid 96 orang.
Kini, tinggalah Waddiah dan Irma Suryani, yang harus mengurus enam kelas sekaligus, berjibaku di antara puluhan murid.
Terkadang ada tiga guru yang masuk, dan terkadang ada empat guru. Dua guru PNS, satu kontrak, dan satu lagi honorer. Semuanya warga Pulo Aceh.
Waddiah sendiri awalnya sempat kebingungan menjawab bagaimana cara mereka mengajar enam kelas hanya dengan dua guru.
"Nyan lon hana meuphom Pak (itu saya nggak ngerti Pak)" jawab Waddiah tersenyum malu sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
Dia menyampaikan itu saat menjawab pertanyaan Anggota DPD RI, Fadhil Rahmi LC, yang berkunjung ke sekolahnya awal pekan lalu, Rabu (3/3/2021).
Senator yang akrab disapa Syech Fadhil ini kebetulan sedang berada di Pulo Aceh dalam rangka mengikuti kegiatan penanaman manggrove yang dilakukan oleh Kaukus Pemuda Aceh.
Mengingat ruang lingkup kerjanya di bidang pendidikan, Syech Fadhil menyempatkan diri meninjau beberapa sekolah di sana.
Waddiah dan Suryani juga kebingungan ketika ditanya soal ketidakhadiran para guru PNS. “(Prinsip) Kami seperti ini, menjalankan tugas kami masing-masing saja,” jawab Waddiah.
“Kalau tidak ada guru, kami masuk terus,” timpalnya lagi.
Suasana pun seketika berubah menjadi haru. Waddiah tak mampu menahan air matanya. Demikian juga Irma.
Sambil terisak, Waddiah mengatakan, bahwa tujuannya mengajar semata-mata agar anak-anak Pulo Aceh bisa membaca dan menulis.
Ia ingin anak-anak Pulo Aceh pintar, tak kalah dengan anak-anak Aceh di daratan. “Yang saya pikirkan bagaimana anak-anak kami bisa membaca,” katanya sambil terisak.
Karena itulah, sejak awal ia meniatkan dirinya menjadi guru SD bagi anak-anak Pulo Aceh.